POTRET PROFESI GURU KITA
POTRET PROFESI GURU
KITA
Oleh :
Muhammad Anas
Menjadi guru adalah menghayati profesi. Galbreath
mengatakan bahwa profesi guru merupakan pekerjaan yang didasarkan atas
panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat
hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan
merasa senang dalam melaksanakan tugas mencerdaskan anak didik. Hal yang
membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah untuk sampai pada
profesi itu seseorang harus berproses terlebih dahulu lewat belajar. Profesi merupakan suatu
pekerjaan yang bisa berwujud sebagai jabatan dalam suatu heirarki birokrasi.
Profesi guru pada dasarnya menuntut adanya keahlian tertentu dan memiliki etika
khusus serta pelayanan baku terhadap masyarakat. Tanpa etika profesi, nilai
kebebasan dan individu tidak akan dihargai. Jika hal ini benar terjadi, maka
bisa dipastikan lembaga pendidikan hanya akan diisi oleh orang-orang yang
bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompok. Untuk inilah, tiap lembaga pendidikan
memerlukan keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya.
Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan
pengajar. Tugas mereka telah digadaikan demi uang. Silap terhadap uang telah
membuat dunia pendidikan hancur. Jika mereka yang bertanggung jawab dalam
mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat ditingkat
pusat sampai guru ditingkat sekolah-sekolah, maka akhir dunia pendidikan kita
ada di depan mata.
"Ada piti (uang) muncul dignity," inilah
ungkapan untuk sebagian guru kita saat ini. Memang persoalan ekonomi yang
dihadapi guru sangat memengaruhi kinerja dan citranya di dalam dunia
pendidikan. Akan tetapi, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak
melaksanakan kinerja mereka secara maksimal. Menjadi guru harus dengan hati
nurani dan siap dengan keadaan apapun. Meskipun demikian, kesejahteraan guru
juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Mereka juga manusia yang
penuh dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai
tanggang jawab untuk mensejahterakan guru. Melalui tunjangan profesi
kesejahteraan guru sulit diperbaiki karena mensyaratkan adanya kualifikasi dan
sertifikat pendidik. Penghasilan guru seharusnya diperbaiki agar profesi ini
menjadi kompetitif dengan menaikkan tunjangan fungsional secara progresif dan
mengoptimalisasi peran pemerintah daerah dalam pemberian insentif seperti yang
telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta sekarang ini. Dengan demikian perbaikan
remunerasi terlaksana secara merata dan proses sertifikasi tidak didesak untuk
mengambil jalan pintas. Begitulah guru dan pendidikan di negara maju dan ingin
maju, senantiasa berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya.
Gagasan pendidikan profesi guru semula dimaksudkan
sebagai langkah strategis untuk mengatasi problem mutu keguruan kita, karena
perbaikan itu tidak akan terjadi dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab
itu, pendidikan profesi diperlukan sebagai upaya mengubah motivasi dan kinerja
guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Tetapi sangat disayangkan implementasi gagasan pendidikan profesi lebih ditekankan pada uji sertifikasi (terutama untuk guru dalam jabatan). Padahal, Pasal 11 UU Sisdiknas mensyaratkan untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak lain adalah kualifikasi S1/D4 dan menempuh pendidikan profesi guru.
Tetapi sangat disayangkan implementasi gagasan pendidikan profesi lebih ditekankan pada uji sertifikasi (terutama untuk guru dalam jabatan). Padahal, Pasal 11 UU Sisdiknas mensyaratkan untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak lain adalah kualifikasi S1/D4 dan menempuh pendidikan profesi guru.
Program uji sertifikasi yang tengah dijalankan
pemerintah dengan mengandalkan penilaian portofolio, dipilih oleh pemerintah
kabupaten/kota. Bahkan akan dibuka peluang bagi mereka yang tidak
berkualifikasi S1/D4. Kenyataan ini bukan saja tidak menghasilkan perbaikan
mutu, tetapi akan memunculkan masalah birokratisasi yang pada akhirnya
mempersulit guru.Program sertifikasi tidak boleh dilepaskan dari proses
pendidikan profesi, dan tidak seharusnya dipandang sekadar cara memberikan
tunjangan profesi. Tunjangan profesi hanyalah insentif agar para guru mau
kembali belajar, sedangkan perbaikan kesejahteraan guru harus diberlakukan
kebijakan lain tentang remunerasi.
Jika konflik kepentingan muncul, manakah standar moral
dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik?
Setiap profesi apa pun termasuk guru tidak dapat melepaskan diri dari prinsip
moral dasar yang diajukan Immanuel Kant. Dengan memperlakukan individu atau
pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka. Kant mengakui settiap individu
memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai dalam diri sendiri.
Karena itu, setiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka, menjadi
sarana bagi tujuan pribadi individu, merupakan pelanggaran atas norma moral.
Kerja sama antara lembaga sekolah dan lembaga bimbel menyiratkan adanya konflik
kepentingan. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru,
sekolah, orangtua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, yang
diuntungkan adalah semua, yaitu siswa, guru, sekolah, orangtua, dan lembaga
bimbel.
Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah
menjadi tanda, guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.
Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan bahwa kepentingan siswa telah
diperalat demi kepentingan lain, terutama demi kepentingan bisnis. Lembaga
bimbel yang datang ke sekolah tidak lelahanan (gratis). Mereka dibayar. Demi
kepentingan ini, siswa dan orangtua harus membayar. Aturan moral yang berlaku
untuk kasus ini adalah jika bimbel diperlukan sekolah demi perbaikan prestasi
siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les
tambahan merupakan tanggung jawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun, yang
gratisan seperti ini tidak ada. Maka, sekolah dan guru telah memanipulasi siswa
menjadi alat demi kepentingan sendiri. Guru menarik keuntungan dengan
mengorbankan martabat profesinya sendiri. Berhadapan dengan situasi ini, yang
harus dilakukan adalah pertama, pemerintah dan guru seharusnya segera bertindak
untuk memulihkan martabat profesionalnya. Kedua, perlu dibentuk Dewan
Kehormatan Guru agar profesi guru tetap terjaga kemartabatannya dan
kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.
Sebagai kalangan profesional, sudah waktunya guru
Indonesia memiliki kode etik dan sumpah profesi. Guru juga harus
memiliki kemampuan sesuai dengan standar minimal sehingga nantinya “tidak
malapraktik” ketika mengajar. Direktur Program Pascasarjana Uninus, Prof. Dr.
H. Achmad Sanusi, M.P.A., menyatakan hal itu di ruang kerjanya Jln.
Soekarno-Hatta, Kamis (4/10). “Dibandingkan dengan profesi lain seperti dokter,
guru masih tertinggal karena belum memiliki sumpah dan kode etik guru,”
katanya. Adanya sumpah profesi dan kode etik guru, menurut Achmad Sanusi, sebagai
rambu-rambu, rem, dan pedoman dalam tindakan guru khususnya saat kegiatan
mengajar. Alasannya, guru harus bertanggung jawab dengan profesi maupun hasil
dari pengajaran yang ia berikan kepada siswa. Jangan sampai terjadi malapraktik
pendidikan.
0 komentar: