Sabtu, 26 Januari 2013

POTRET PROFESI GURU KITA


POTRET PROFESI GURU KITA
Oleh : Muhammad Anas

Menjadi guru adalah menghayati profesi. Galbreath mengatakan bahwa profesi guru merupakan pekerjaan yang didasarkan atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas mencerdaskan anak didik. Hal yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah untuk sampai pada profesi itu seseorang harus berproses terlebih dahulu  lewat belajar. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang bisa berwujud sebagai jabatan dalam suatu heirarki birokrasi. Profesi guru pada dasarnya menuntut adanya keahlian tertentu dan memiliki etika khusus serta pelayanan baku terhadap masyarakat. Tanpa etika profesi, nilai kebebasan dan individu tidak akan dihargai. Jika hal ini benar terjadi, maka bisa dipastikan lembaga pendidikan hanya akan diisi oleh orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompok.  Untuk inilah, tiap lembaga pendidikan memerlukan keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya. Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar. Tugas mereka telah digadaikan demi uang. Silap terhadap uang telah membuat dunia pendidikan hancur. Jika mereka yang bertanggung jawab dalam mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat ditingkat pusat sampai guru ditingkat sekolah-sekolah, maka akhir dunia pendidikan kita ada di depan mata.
"Ada piti (uang) muncul dignity," inilah ungkapan untuk sebagian guru kita saat ini. Memang persoalan ekonomi yang dihadapi guru sangat memengaruhi kinerja dan citranya di dalam dunia pendidikan. Akan tetapi, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan kinerja mereka secara maksimal. Menjadi guru harus dengan hati nurani dan siap dengan keadaan apapun. Meskipun demikian, kesejahteraan guru juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Mereka juga manusia yang penuh dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai tanggang jawab untuk mensejahterakan guru. Melalui tunjangan profesi kesejahteraan guru sulit diperbaiki karena mensyaratkan adanya kualifikasi dan sertifikat pendidik. Penghasilan guru seharusnya diperbaiki agar profesi ini menjadi kompetitif dengan menaikkan tunjangan fungsional secara progresif dan mengoptimalisasi peran pemerintah daerah dalam pemberian insentif seperti yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta sekarang ini. Dengan demikian perbaikan remunerasi terlaksana secara merata dan proses sertifikasi tidak didesak untuk mengambil jalan pintas. Begitulah guru dan pendidikan di negara maju dan ingin maju, senantiasa berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya.
Gagasan pendidikan profesi guru semula dimaksudkan sebagai langkah strategis untuk mengatasi problem mutu keguruan kita, karena perbaikan itu tidak akan terjadi dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, pendidikan profesi diperlukan sebagai upaya mengubah motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Tetapi sangat disayangkan implementasi gagasan pendidikan profesi lebih ditekankan pada uji sertifikasi (terutama untuk guru dalam jabatan). Padahal, Pasal 11 UU Sisdiknas mensyaratkan untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak lain adalah kualifikasi S1/D4 dan menempuh pendidikan profesi guru.
Program uji sertifikasi yang tengah dijalankan pemerintah dengan mengandalkan penilaian portofolio, dipilih oleh pemerintah kabupaten/kota. Bahkan akan dibuka peluang bagi mereka yang tidak berkualifikasi S1/D4. Kenyataan ini bukan saja tidak menghasilkan perbaikan mutu, tetapi akan memunculkan masalah birokratisasi yang pada akhirnya mempersulit guru.Program sertifikasi tidak boleh dilepaskan dari proses pendidikan profesi, dan tidak seharusnya dipandang sekadar cara memberikan tunjangan profesi. Tunjangan profesi hanyalah insentif agar para guru mau kembali belajar, sedangkan perbaikan kesejahteraan guru harus diberlakukan kebijakan lain tentang remunerasi.
Jika konflik kepentingan muncul, manakah standar moral dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik? Setiap profesi apa pun termasuk guru tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral dasar yang diajukan Immanuel Kant. Dengan memperlakukan individu atau pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka. Kant mengakui settiap individu memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai dalam diri sendiri. Karena itu, setiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka, menjadi sarana bagi tujuan pribadi individu, merupakan pelanggaran atas norma moral. Kerja sama antara lembaga sekolah dan lembaga bimbel menyiratkan adanya konflik kepentingan. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru, sekolah, orangtua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, yang diuntungkan adalah semua, yaitu siswa, guru, sekolah, orangtua, dan lembaga bimbel.
Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda, guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total. Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan bahwa kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama demi kepentingan bisnis. Lembaga bimbel yang datang ke sekolah tidak lelahanan (gratis). Mereka dibayar. Demi kepentingan ini, siswa dan orangtua harus membayar. Aturan moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbel diperlukan sekolah demi perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggung jawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun, yang gratisan seperti ini tidak ada. Maka, sekolah dan guru telah memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingan sendiri. Guru menarik keuntungan dengan mengorbankan martabat profesinya sendiri. Berhadapan dengan situasi ini, yang harus dilakukan adalah pertama, pemerintah dan guru seharusnya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesionalnya. Kedua, perlu dibentuk Dewan Kehormatan Guru agar profesi guru tetap terjaga kemartabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.
Sebagai kalangan profesional, sudah waktunya guru Indonesia memiliki kode etik dan sumpah profesi. Guru juga harus memiliki kemampuan sesuai dengan standar minimal sehingga nantinya “tidak malapraktik” ketika mengajar. Direktur Program Pascasarjana Uninus, Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, M.P.A., menyatakan hal itu di ruang kerjanya Jln. Soekarno-Hatta, Kamis (4/10). “Dibandingkan dengan profesi lain seperti dokter, guru masih tertinggal karena belum memiliki sumpah dan kode etik guru,” katanya. Adanya sumpah profesi dan kode etik guru, menurut Achmad Sanusi, sebagai rambu-rambu, rem, dan pedoman dalam tindakan guru khususnya saat kegiatan mengajar. Alasannya, guru harus bertanggung jawab dengan profesi maupun hasil dari pengajaran yang ia berikan kepada siswa. Jangan sampai terjadi malapraktik pendidikan.

0 komentar: